(Bagian Pertama)
Oleh : Maria Coleman
27-Jun-2008, 12:29:15 WIB -
[http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=20&dn=20080627051233]
KabarIndonesia - Hari ini, tepatnya 27 Juni, aku dan suami merayakan 4 tahun pernikahan kami. Suatu angka yang kecil bagi masyarakat Indonesia pada umumnya. Tapi bagi kami itu merupakan suatu pencapaian yang amat berarti. Aku dan suami berasal dari dua kutub budaya yang jauh berbeda. Suami adalah kaukasian Amerika, negara adidaya yang kental dengan budaya demokrasi dan keterbukaan. Sementara aku adalah gadis Jawa yang menganut budaya ketimuran yang penuh unggah-ungguh dan kesopanan.
Perkenalan kami terjadi melalui internet. Setelah menjalani hubungan jarak jauh yang intens dan beberapa kali kunjungan ke Indonesia, kami sampai pada keputusan untuk menikah. Tidaklah mudah bagiku saat itu untuk meyakinkan orangtua dan keluarga besarku tentang keputusan kami ini. Namun, sikap, perilaku, dan kesabaran suamiku mampu "meluluhkan" hati mereka dan membuatnya diterima di lingkungan keluarga kami. Perkawinan campur mungkin sudah bukan barang aneh lagi di masyarakat kita masa kini. Tapi tidaklah mudah untuk menggabungkan dua pribadi dengan latar belakang sosial dan budaya, bahasa, prinsip dan kepercayaan yang jauh berbeda. Banyak kita temui pasangan-pasangan dengan latarbelakang yang homogen menemui masalah, bahkan "gagal" di tahun awal perkawinan mereka. Sungguh ini menjadi suatu tantangan bagi kami, mampukah kami mengatasi kesulitan-kesulitan yang muncul sebagai dampak dari perbedaan-perbedaan diantara kami?
Dukungan dari Pasangan
Tahun pertama perkawinan kami dipenuhi dengan kesibukan mengurus surat-surat ijin visaku dan status Permanent Residence (Penduduk Tetap) di Amerika. Bisa dibilang tahun ini adalah ujian beratku yang pertama: meninggalkan tanah air Indonesia menuju negara asing Amerika yang seumur hidup hanya kukenal melalui film-film, majalah dan surat kabar. Jauh dari keluarga, teman-teman, dan komunitas gereja dan sosial dimana aku selalu aktif didalamnya. Tidak ada lagi acara mudik Lebaran dan saling kunjung keluarga saat hari-hari besar keagamaan. Dan yang lebih sedih lagi, harus adaptasi dengan makanan asing dengan kemungkinan terburuk tidak bisa menemukan pete dan terasi di Amerika.
Bagaimana aku mampu melalui itu semua? Sejujurnya aku tak akan mampu bila tanpa dukungan suamiku. Dialah sumber penghiburan dan kekuatanku. Dia sangat akomodatif dengan kebutuhanku, memahami kesulitan dan membantuku sejauh yang dia mampu lakukan. Suamiku mengajakku berbelanja setiap akhir pekan di toko-toko Cina, Vietnam dan India yang menjual berbagai kebutuhan makanan Asia, hingga suatu hari kami menemukan sebuah supermarket besar dimana aku menemukan segala jenis bumbu dan makanan Indonesia. Termasuk durian, pete dan terasi!
Acara mudik Lebaran kini berganti dengan kunjungan ke keluarga suami yang tersebar di berbagai negara bagian di Amerika. Atas dukungan suamiku pula, aku bisa mengenal dan kini ikut dalam berbagai kegiatan komunitas-komunitas Indonesia di Austin, Texas. Dalam hal komunikasi, kadang aku salah mengucapkan kata-kata atau kalimat dalam bahasa Inggris, orang lain mungkin akan tertawa, tapi tidak suamiku. Dia akan mengoreksinya dengan cara yang tidak mematahkan semangat. Sering dia memancing dengan diskusi, mulai dari soal harga bahan bakar naik sampai masalah politik untuk mengasah kemampuan berbahasaku. Pada kesempatan lain, saat suamiku down karena polemik keluarganya, aku pun berusaha menempatkan diri sebagai supportive partner. Bagaimana caranya? Dengan tidak menambah bebannya dengan masalah sepele seputar rumah tangga, memberi semangat dan kata-kata penghiburan, dan siap menjadi pendengar yang baik dalam arti mendengarkan dengan perhatian tanpa menyela ataupun menghakimi.
Saling Menghargai
Suamiku selalu katakan,"It's an endless conversation to talk about the differences between us, and it only creates useless argumentations. We must look ahead. Think of what we have in common, of what we share, and we appreciate and respect each other. That's our strenght to overcome any obstacle." ("Membicarakan perbedaan di antara kita adalah diskusi yang tak akan ada habisnya. Dan hanya menciptakan argumentasi tak berguna. Kita harus melihat ke depan. Pikirkan persamaan di antara kita, yang kita bagi, dan kita saling menghargai dan menghormati. Itu kekuatan kita untuk mengatasi setiap hambatan.")
Saling menghargai, mungkin mudah dikatakan tapi tak semudah melakukannya. Pernahkan partner Anda mengapresiasi "kerja keras" Anda untuk menjaga rumah tetap indah dan rapi? Berapa kali Anda menerima ungkapan terimakasih atau pujian dari partner Anda atas sarapan atau masakan sedap yang Anda siapkan dengan susah payah? Adakah senyum di wajah partner Anda saat menemukan pakaian kerjanya sudah siap disaat dia diburu waktu? Dan saat suami lelah sepulang kerja, adakah dia menjumpai wajah berseri istrinya yang menawarkan secangkir kopi dan pijatan lembutnya? Atau, kita menerima semuanya sebagai sesuatu yang "sudah seharusnya"? Menghargai jerih payah pasangan kita tidak perlu selalu dengan ucapan terimakasih. Sikap yang suportif, kata-kata yang lemah lembut, bahkan seuntai senyum pun mampu memberi damai di hati.
Aku banyak belajar dari suamiku dalam hal ini. Kadang kami terlibat dalam argumen, dan emosiku memanas dan mulai berteriak. Suamiku tidak membalas, tapi menungguku selesai menumpahkan semua emosi barulah dia mulai mengeluarkan argumennya, yang -biasanya- selalu masuk akal. Pernah suatu pagi, aku dikejutkan dengan sarapan yang sudah tersedia di meja makan: roti sandwich dan segelas jus apel. Di samping piringku tergeletak seikat bunga liar dengan post-it note diatasnya tertulis, "Terima kasih untuk sex yang indah tadi malam. Aku cinta kamu." Aku tersenyum haru. Memang bukan sarapan yang "wah", tapi upayanya untuk bangun pagi dan menyiapkannya, plus menuliskan pesannya dalam bahasa Indonesia, sungguh mengungkapkan besarnya kasihnya.
Disaat lain, saat aku lelah setelah berkebun seharian, dia datang dengan segelas air es dan menawarkan diri untuk memasak. Banyak contoh kecil lainnya yang penulis tak mampu sebutkan disini. Intinya, kita semua dapat -dan mampu- menunjukkan apresiasi kepada pasangan kita, melalui tindakan yang meski tampaknya kecil dan remeh, tapi sebenarnya sungguh bermakna dalam. (Bersambung)
Perkenalan kami terjadi melalui internet. Setelah menjalani hubungan jarak jauh yang intens dan beberapa kali kunjungan ke Indonesia, kami sampai pada keputusan untuk menikah. Tidaklah mudah bagiku saat itu untuk meyakinkan orangtua dan keluarga besarku tentang keputusan kami ini. Namun, sikap, perilaku, dan kesabaran suamiku mampu "meluluhkan" hati mereka dan membuatnya diterima di lingkungan keluarga kami. Perkawinan campur mungkin sudah bukan barang aneh lagi di masyarakat kita masa kini. Tapi tidaklah mudah untuk menggabungkan dua pribadi dengan latar belakang sosial dan budaya, bahasa, prinsip dan kepercayaan yang jauh berbeda. Banyak kita temui pasangan-pasangan dengan latarbelakang yang homogen menemui masalah, bahkan "gagal" di tahun awal perkawinan mereka. Sungguh ini menjadi suatu tantangan bagi kami, mampukah kami mengatasi kesulitan-kesulitan yang muncul sebagai dampak dari perbedaan-perbedaan diantara kami?
Dukungan dari Pasangan
Tahun pertama perkawinan kami dipenuhi dengan kesibukan mengurus surat-surat ijin visaku dan status Permanent Residence (Penduduk Tetap) di Amerika. Bisa dibilang tahun ini adalah ujian beratku yang pertama: meninggalkan tanah air Indonesia menuju negara asing Amerika yang seumur hidup hanya kukenal melalui film-film, majalah dan surat kabar. Jauh dari keluarga, teman-teman, dan komunitas gereja dan sosial dimana aku selalu aktif didalamnya. Tidak ada lagi acara mudik Lebaran dan saling kunjung keluarga saat hari-hari besar keagamaan. Dan yang lebih sedih lagi, harus adaptasi dengan makanan asing dengan kemungkinan terburuk tidak bisa menemukan pete dan terasi di Amerika.
Bagaimana aku mampu melalui itu semua? Sejujurnya aku tak akan mampu bila tanpa dukungan suamiku. Dialah sumber penghiburan dan kekuatanku. Dia sangat akomodatif dengan kebutuhanku, memahami kesulitan dan membantuku sejauh yang dia mampu lakukan. Suamiku mengajakku berbelanja setiap akhir pekan di toko-toko Cina, Vietnam dan India yang menjual berbagai kebutuhan makanan Asia, hingga suatu hari kami menemukan sebuah supermarket besar dimana aku menemukan segala jenis bumbu dan makanan Indonesia. Termasuk durian, pete dan terasi!
Acara mudik Lebaran kini berganti dengan kunjungan ke keluarga suami yang tersebar di berbagai negara bagian di Amerika. Atas dukungan suamiku pula, aku bisa mengenal dan kini ikut dalam berbagai kegiatan komunitas-komunitas Indonesia di Austin, Texas. Dalam hal komunikasi, kadang aku salah mengucapkan kata-kata atau kalimat dalam bahasa Inggris, orang lain mungkin akan tertawa, tapi tidak suamiku. Dia akan mengoreksinya dengan cara yang tidak mematahkan semangat. Sering dia memancing dengan diskusi, mulai dari soal harga bahan bakar naik sampai masalah politik untuk mengasah kemampuan berbahasaku. Pada kesempatan lain, saat suamiku down karena polemik keluarganya, aku pun berusaha menempatkan diri sebagai supportive partner. Bagaimana caranya? Dengan tidak menambah bebannya dengan masalah sepele seputar rumah tangga, memberi semangat dan kata-kata penghiburan, dan siap menjadi pendengar yang baik dalam arti mendengarkan dengan perhatian tanpa menyela ataupun menghakimi.
Saling Menghargai
Suamiku selalu katakan,"It's an endless conversation to talk about the differences between us, and it only creates useless argumentations. We must look ahead. Think of what we have in common, of what we share, and we appreciate and respect each other. That's our strenght to overcome any obstacle." ("Membicarakan perbedaan di antara kita adalah diskusi yang tak akan ada habisnya. Dan hanya menciptakan argumentasi tak berguna. Kita harus melihat ke depan. Pikirkan persamaan di antara kita, yang kita bagi, dan kita saling menghargai dan menghormati. Itu kekuatan kita untuk mengatasi setiap hambatan.")
Saling menghargai, mungkin mudah dikatakan tapi tak semudah melakukannya. Pernahkan partner Anda mengapresiasi "kerja keras" Anda untuk menjaga rumah tetap indah dan rapi? Berapa kali Anda menerima ungkapan terimakasih atau pujian dari partner Anda atas sarapan atau masakan sedap yang Anda siapkan dengan susah payah? Adakah senyum di wajah partner Anda saat menemukan pakaian kerjanya sudah siap disaat dia diburu waktu? Dan saat suami lelah sepulang kerja, adakah dia menjumpai wajah berseri istrinya yang menawarkan secangkir kopi dan pijatan lembutnya? Atau, kita menerima semuanya sebagai sesuatu yang "sudah seharusnya"? Menghargai jerih payah pasangan kita tidak perlu selalu dengan ucapan terimakasih. Sikap yang suportif, kata-kata yang lemah lembut, bahkan seuntai senyum pun mampu memberi damai di hati.
Aku banyak belajar dari suamiku dalam hal ini. Kadang kami terlibat dalam argumen, dan emosiku memanas dan mulai berteriak. Suamiku tidak membalas, tapi menungguku selesai menumpahkan semua emosi barulah dia mulai mengeluarkan argumennya, yang -biasanya- selalu masuk akal. Pernah suatu pagi, aku dikejutkan dengan sarapan yang sudah tersedia di meja makan: roti sandwich dan segelas jus apel. Di samping piringku tergeletak seikat bunga liar dengan post-it note diatasnya tertulis, "Terima kasih untuk sex yang indah tadi malam. Aku cinta kamu." Aku tersenyum haru. Memang bukan sarapan yang "wah", tapi upayanya untuk bangun pagi dan menyiapkannya, plus menuliskan pesannya dalam bahasa Indonesia, sungguh mengungkapkan besarnya kasihnya.
Disaat lain, saat aku lelah setelah berkebun seharian, dia datang dengan segelas air es dan menawarkan diri untuk memasak. Banyak contoh kecil lainnya yang penulis tak mampu sebutkan disini. Intinya, kita semua dapat -dan mampu- menunjukkan apresiasi kepada pasangan kita, melalui tindakan yang meski tampaknya kecil dan remeh, tapi sebenarnya sungguh bermakna dalam. (Bersambung)
Ingin baca artikelnya langsung dari sumber aslinya? Silakan klik link berikut
0 comments:
Post a Comment