Opini Refleksi Pribadi Memperingati 4 Tahun Perkawinan (Bagian Terakhir)



Oleh : Maria Coleman
29-Jun-2008, 09:54:56 WIB -
Saling Menghormati
Bagaimana dengan aktualisasi saling menghormati ini? Sejak awal perkenalanku dengan suami, aku banyak bertanya pada suamiku tentang masyarakat Amerika yang sangat majemuk tetapi jarang muncul kasus akibat gesekan antar etnis, antar ras, atau antar agama. Dia menjelaskan bangsa Amerika dibangun atas dasar pluralitas. Imigran dari Inggris, Jerman, Perancis, Irlandia, Skotlandia, dan Belanda datang mencari penghidupan di Amerika. Kemudian mereka mendatangkan orang-orang dari Afrika untuk dipekerjakan di perkebunan-perkebunan milik orang-orang kulit putih. Lalu lahir era "segregasi", yaitu pemisahan antara orang kulit putih dan kulit hitam dalam hidup keseharian. Salah satu contohnya, orang kulit hitam tidak boleh makan di restoran orang kulit putih, demikian pula sebaliknya. Berikutnya adalah era integrasi, dimana ras kulit hitam berjuang untuk mendapatkan persamaan hak dengan rakyat Amerika lainnya. Seiring dengan perkembangan ekonomi Amerika yang pesat, semakin banyak pula imigran-imigran dari India, Cina, Spanyol, Meksiko, Rusia dan negara-negara lain ke Amerika.
Demikianlah, sejarah panjang Amerika menjadi sebuah "melting pot" yang melahirkan satu bangsa Amerika yang demokratif dan hormat atas setiap pribadi. Sebagaimana semboyan negara "E Pluribus Unum" yang artinya "From many, uniting into one" ("Dari banyak menjadi satu"). Perkawinan adalah contoh kecil dari semboyan ini. Membina sebuah perkawinan akan menjadi sangat sulit bila pribadi-pribadi yang terlibat di dalamnya tidak bisa saling menghormati.
Seperti yang kuungkap di tulisan bagian pertama, keluargaku terkesan akan sikap dan tingkah laku suamiku yang santun dan sabar. Kami melakukan ritual lamaran dan pernikahan menurut adat Jawa modern. Suamiku sungguh terkesan dengan makna simbol-simbol Jawa. Seperti ubo rampe pada saat lamaran dan pernikahan. Mereka tidak tahu, jauh sebelum pertemuan kami suamiku banyak bertanya dan belajar tata krama yang berlaku di lingkungan keluargaku. Tata cara bertamu, saat makan dan minum, komunikasi dan bahasa tubuh. Mana yang boleh dan tidak boleh dilakukan.
Demikian pula saat aku tiba di Amerika, aku belajar tata cara yang berlaku di negara ini. Menyetir mobil di Amerika salah satu contohnya. Setelah 2 kali gagal tes praktek (pertama, aku mengemudi di atas kecepatan maksimum, yang kedua, tidak berhenti total pada tanda STOP), suamiku menjadi tutor pribadiku. Mengajakku berkeliling rute tes praktek, mengenal setiap tanda lalu lintas dan menaati tata tertib berlalu lintas. Satu hal yang sangat menarik adalah orang-orang Amerika sangat tertib berlalu lintas. Meski tidak ada polisi yang sembunyi di pepohonan dan menunggu pengendara yang melanggar lalin, mereka sangat hormat kepada sesama pemakai jalan, terutama pejalan kaki dan pengendara sepeda atau sepeda motor. Di perempatan jalan yang bertanda STOP, semua pengendara dari semua arah akan berhenti, dan memberi kesempatan kepada pengendara yang mencapai tanda stop lebih dulu. Sering malah mereka melambaikan tangan memberiku kesempatan lewat terlebih dahulu. Mungkin karena aku wanita. Satu lagi, jangan coba-coba budaya "salam tempel" kita di Amerika. Anda bisa masuk penjara dengan tuduhan penyuapan.
Contoh lain, suamiku adalah vegetarian, sedangkan aku bukan. Tapi itu tidak menjadi kendala, karena kami saling menghormati cara hidup kami masing-masing. Tiap berkunjung ke salah satu keluarga atau menghadiri suatu jamuan, aku membantunya memilih menu yang tidak mengandung daging. Aku selalu menjelaskan dulu kepada tuan rumah, supaya mereka tidak tersinggung. Meski pada akhirnya aku memutuskan untuk menjadi vegetarian juga, tapi itu atas kehendakku sendiri dengan didasarkan sejarah kesehatan orang tuaku. Kami menerima dan menghormati perbedaan kami dan tidak mempermasalahkannya, karena setiap pribadi adalah unik. Justru kita harus melihatnya sebagai suatu keindahan tersendiri. Bayangkan, sebuah kebun dengan bunga warna-warni, dan bandingkan dengan kebun kosong yang hanya berisi rumput saja. Membosankan, bukan?

Saling Percaya
Empat tahun menjalani hidup bersama, kami masih menemukan hal-hal baru dan unik pada diri pasangan kami. Suatu hari, aku perlu mengecek rekening bank pribadinya online. Aku bertanya apa kata sandinya. Suamiku menyebutkan nama mantan kekasihnya. Aku langsung naik darah dan mulai menyangsikan kesetiaannya. Baru setelah dia ganti kata sandinya dengan panggilan sayangku dan rayuan berjam-jam, aku mulai bisa menerima "alasan logisnya", yaitu bahwa rekening itu dia buka sejak dia masih bersama kekasih lamanya, jauh sebelum dia mengenal aku, sehingga lebih mudah untuk mengingatnya.
Cemburu, itulah alasan kemarahanku. Kata orang, cemburu adalah "bumbu penyedap" dalam perkawinan. Tapi, bila kita mau jujur, cemburu sebenarnya adalah salah satu bentuk ketidakpercayaan kepada seseorang. Dan ketidakpercayaan ini timbul karena kita belum sepenuhnya mengenal diri orang tersebut. Bagaimana kami memupuk saling percaya di antara kami? Sharing, berbagi, give and take (memberi dan menerima). Tentang apa saja, masa lalu kami, kesukaan kami, pekerjaan, bahkan kejelekan dan kekonyolan kami, yang tidak pernah diketahui sahabat ataupun keluarga terdekat kami. Dengan tidak menghakimi dan menunjuk pada keburukan pasangan, kami bisa bebas mencurahkan segala uneg-uneg dan isi hati kami.
Kami tahu setiap sandi yang dipakai dalam tagihan-tagihan dan rekening-rekening bank, bahkan kami berdua punya akses ke email, website dan blog pribadi. Aku mengenal teman-teman dan keluarganya dengan baik, demikian pula dia mengenal teman dan keluargaku. Rahasianya sudah menjadi rahasiaku, demikian pula sebaliknya. Suatu hari, saat aku hendak mencuci pakaian dan suamiku menawarkan bantuan, aku berkata,"It's OK. I can do it." Suamiku menjawab,"There is no "I" or "You" in our relationship. We are partners." ("Tidak ada kata "aku" atau "kamu" dalam hubungan kita. Kita adalah partner").
Sharing menjadikan kami sadar akan hal-hal yang tidak disukai oleh pasangan kami dan dengan demikian kami berusaha menyesuaikan. Di pihak lain, diperlukan hati yang besar untuk menerima segala kelebihan dan kekurangan pasangan dan mendorong perkembangan hal-hal yang positif. Karena bagaimanapun, tidak ada seorang pun yang sempurna di dunia ini dan kita tidak bisa mendapatkan semua yang kita inginkan dari pasangan kita. Hentikan segala bentuk pemikiran seperti "Ah, coba dulu aku..." atau "Andai saja dia seperti..." Itu hanya akan menggiring kita ke jurang ketidakpercayaan. Aku telah memutuskan untuk menerima dia menjadi suamiku, berdasarkan pengenalan batin dan fisik. Dan sebagai pribadi yang dewasa aku menerima konsekuensi dari keputusanku ini dan turut bertanggung jawab atas kelangsungan relasi kami.
Suamiku, terima kasih, engkau telah menjadi sosok kekasih, kakak, pengayom, sahabat, dan partnerku sepanjang empat tahun ini. We are looking forward for more happy years to come to share.

Selamat Hari Jadi Perkawinan, Suamiku Sayang!

3 comments:



Blue Jasmine said...

HAPPY 4th ANNIVERSARY, dehhhhhhhh!!!!! Wish you all love and happiness in the world!

Fida Abbott said...

Ada Genies Tag utk Arisan Wanita Tegar. Please, visit my Blog!

Fida Abbott said...

There is a special thanks from me to you (TAG)