Bocah Yang Melihat Dengan Suara


Bagi orang-orang yang belum mengenal baik Ben Underwood, mereka tidak akan bisa melihat ‘keistimewaan’ bocah 14 tahun dari Sacramento, California ini. Seperti layaknya remaja lainnya, dia lihai meluncur diatas skateboardnya, bersepeda, atau bermain sepak bola dan basket dengan teman-temannya. Satu yang membedakan adalah suara ‘klik-klik’ yang keluar dari mulutnya.
Ben baru berusia 2 tahun saat dokter menemukan kanker di kedua retina matanya. Setelah kemoterapi gagal, dokter terpaksa harus membuang kedua bola matanya. Sejak itu Ben menggunakan mata buatan. Ben mulai belajar untuk mengenali dan melokalisasi obyek dengan cara membuat suara dengan lidahnya (mirip suara jentikan jari), lalu mendengarkan gema yang dipantulkan dari obyek-obyek sekitarnya. Gema ini memandu Ben untuk mengenali obyek yang ada didepannya: gema yang lembut mengindikasikan benda metal, padat (seperti kayu), atau tajam (gelas). Menilai dari keras dan lemahnya gema itu, Ben juga belajar mengenali jarak.
Teknik ini disebut ‘echolocation’, dan banyak spesies, seperti kelelawar dan lumba-lumba, yang menggunakan teknik ini untuk bernavigasi. Bedanya, karena manusia hanya mampu menghasilkan suara dalam tempo lebih lambat dan frekuensi yang lebih rendah daripada hewan, manusia hanya mampu mengenali obyek-obyek yang lebih besar. Namun, tetap saja kemampuan navigasi Ben ini dinilai luar biasa. “Kemampuan Ben ini sungguh langka dan melampaui persepsi manusia,” kata Daniel Kish, psikolog dan pengajar ‘echomobility’ yang juga mengalami buta total sejak usia 2 tahun.
Satu hal penting yang membuat Ben mampu berkembang tanpa batas adalah peran ibunya, Aquanetta Gordon, yang tidak membedakan perlakuan diantara anak-anaknya. “Saya selalu bilang padanya, ‘Namamu adalah Benjamin Underwood, dan kamu bisa melakukan apa saja,’”demikian kata ibu 4 orang anak ini. “Dia bisa belajar menerbangkan pesawat kalau dia mau,” lanjutnya lagi.
Ben bermain basket bersama teman-temannya, berkuda, atau berdansa dengan gadis-gadis di sekolah. Dia mahir bermain PlayStation dengan cara mengingat suara yang dihasilkan oleh masing-masing karakter dan gerakan-gerakannya. “Orang selalu bertanya apakah saya kesepian,” kata Ben,”Tidak. Karena selalu ada orang disekitar saya, atau saya ngobrol dengan teman di telepon. Menjadi buta tidak jauh berbeda dengan orang normal.”
Aquanetta mengirim Ben ke sekolah biasa dimana staf pengajar profesional memberikan perhatian khusus padanya. Ben mulai belajar huruf Braille dan menggunakan tongkat. Tapi sejak usia 3 tahun, dia sudah belajar ‘echolocation’, dengan cara mengenali suara dari obyek-obyek yang dijatuhkannya dan belajar menemukannya kembali dengan mengenali gema dari obyek-obyek tersebut. Indera pendengarannya sungguh luar biasa. Kalli Carvalho, guru seni bahasa Ben mengisahkan,”Suatu hari saya membawa Ben mencari mobil saya yang diparkir di seberang jalan. Saya bilang,’Mobil saya adalah yang ketiga dari deretan ini.’ Saat kami melewati kendaraan pertama Ben berkata,’Ini kendaraan pertama. Sebuah truk.’ Melewati kendaraan kedua Ben berkata lagi,’Dan yang kedua ini adalah sebuah pickup. Dia bisa menyatakan bedanya!”
Saat berusia 6 tahun, Ben memutuskan tidak mau lagi menggunakan tongkat. Ben memilih untuk menajamkan kemampuan ‘echolocation’ nya. Sebagian ahli yang bekerja pada kasus Ben ini mengatakan Ben terlalu memaksa dirinya dan terlalu ambil resiko. Sebagian lain justru melihat kemampuan Ben ini akan memudahkannya dalam menghadapi kesulitan-kesulitan baru dan menaklukkan lingkungan barunya. James Ruben, dokter mata Ben berkata, “Dunia ini tidak akan berubah untuk Ben, dialah yang harus beradaptasi.”
Menjadi ‘pemberontak’ bukan berarti Ben tak punya rasa takut. “Satu hal yang paling saya takuti adalah air,” kata Ben. Juni lalu keluarganya membawanya ke Sea World di San Diego untuk bermain bersama lumba-lumba dan mendengar bagaimana lumba-lumba menggunakan ‘echolocation’. Dengan setengah badan terendam air dan Ben memasang telinganya saat Sandy, salah satu lumba-lumba datang mendekat. “Wow!”, serunya.”Klik-kliknya cepat sekali!” Bob McMains, supervisor program lumba-lumba berkata,”Ben memiliki talenta yang unik bersama lumba-lumba. Bila kelak dia berusia 18 tahun dia bisa bekerja disini, kapan saja.”
Dunia Ben Underwood mungkin saja gelap, tapi dia tak akan berhenti menemukan kejutan-kejutan menakjubkan lainnya. Kelak Ben bisa menjadi guru matematika, atau pemain skate board profesional, atau bahkan pilot. “Saya selalu katakan saya tidak buta,” kata Ben,”Saya hanya tidak bisa melihat.” (Kisah ini telah dimuat di Harian Online Kabar Indonesia edisi tanggal 3 Desember 2007. Silakan klik link berikut http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=1&dn=20071202232223)

1 comments:



adhiguna.mahendra@ieee.org said...

Hebat dan inspiring sekali...
yang patut dicatat adalah peran seorang orang tua yang selalu mengatakan "YOU CAN DO ANYTHING" pada anaknya.

Hal yang jarang saya temui pada orangtua Indonesia.