One day a farmer's donkey fell down into a
well. The animal cried piteously for hours as
the farmer tried to figure out what to do.
Finally, he decided the animal was old, and the
well needed to be covered up anyway;
it just wasn't worth it to retrieve the donkey.
He invited all his neighbors to come over and
help him. They all grabbed a shovel and began
to shovel dirt into the well. At first, the
donkey realized what was happening and cried
horribly. Then, to everyone's amazement he
quieted down.
A few shovel loads later, the farmer finally
looked down the well. He was astonished at what
he saw. With each shovel of dirt that hit his
back, the donkey was doing something amazing.
He would shake it off and take a step up.
As the farmer's neighbors continued to shovel
dirt on top of the animal, he would shake it
off and take a step up.
Pretty soon, everyone was amazed as the donkey
stepped up over the edge of the well and
happily trotted off!
Life is going to shovel dirt on you, all kinds
of dirt. The trick to getting out of the well
is to shake it off and take a step up. Each of
our troubles is a stepping stone. We can get out
of the deepest wells just by not stopping,
never giving up! Shake it off and take a step up.
Remember the five simple rules to be happy:
- Free your heart from hatred - Forgive.
- Free your mind from worries - Most never happen.
- Live simply and appreciate what you have.
- Give more.
- Expect less.
NOW ............
Enough of that crap . The donkey later came back,
and bit the farmer who had tried to bury him.
The gash from the bite got infected and
the farmer eventually died in agony from septic shock.
MORAL FROM TODAY'S LESSON:
When you do something wrong, and try to cover
your ass, it always comes back to bite you.
***********************
Thanks Vey! You sent it just in the right time. Really inspiring and give me strenght to go on.
Donkey Lessons
Puasa
********
DI hari-hari ini saya berpuasa dan merasakan sebuah privilese: saya dihormati. Dengan tekad saya sendiri saya berniat tak makan dan tak minum sejak dini hari hingga senja; selama itu saya sadar bahwa akan ada saat-saat saya bisa tergoda—tetapi saya selamat. Saya siap untuk terganggu, tetapi lihat: saya tak boleh diganggu.
Privilese itu kini sudah seperti sesuatu yang semestinya. Demi ibadah saya, yang saya niatkan sendiri, orang-orang lain tak bisa pergi pijat karena selama sebulan semua panti pijat harus ditutup—meskipun ini bukan tempat yang mesum sama sekali—dan sekian ratus pemijat tidak mendapatkan penghasilan. Demi ibadah saya, orang-orang lain tidak dapat minum minuman beralkohol selama kurang-lebih 30 hari, siang dan malam—meskipun mereka lazim melakukannya sebagai bagian dari hidup mereka—karena bar tak boleh buka dan kalaupun ada restoran buka, bir, anggur, wiski, konyak, vodka, dan lain-lain harus masuk kotak.
Terkadang saya tak tahu apakah saya merasa bangga, atau bersyukur, atau merasa bersalah, ketika di mana-mana dipasang anjuran: ”Hormatilah Orang yang Berpuasa”.
Tentu saja sikap menghormati adalah sebuah sikap yang bisa datang dari hati yang ikhlas dan sukarela. Tapi sikap itu juga bisa diperlihatkan khalayak ramai karena aturan pemerintah, para ulama, atau tekanan lain yang menakutkan. Kita sekarang tidak tahu yang mana yang menentukan. Jika ada polisi atau petugas kota praja—belum lagi kelompok orang galak yang dengan gampang menyerbu dan merusak—yang membuat penghormatan itu berlaku, saya tak pernah yakin sejauh mana penghormatan (atau lebih tepat ”apresiasi”) yang ikhlas yang sedang saya rasakan. Jangan-jangan semuanya adalah penghormatan (atau lebih tepat ”sikap merunduk”) yang dengan gerutu.
Tapi di sebuah negeri yang tak jarang memperdagangkan kepalsuan, akhirnya soal seperti itu tak dipersoalkan. Pokoknya: saya berpuasa, sebab itu saya harus dihormati.
Namun saya tak hendak mengomel. Sebab menghormati orang yang berpuasa dapat berangkat dari sebuah alasan yang bagus. Ramadan sering dikatakan sebagai bulan yang dekat dengan rohani. Tetapi tak kurang dari itu Ramadan sebenarnya menekankan pentingnya tubuh—justru dengan mengaktualisasikan tubuh yang tak penuh. Bulan ini adalah bulan yang berbicara tentang kondisi dasar manusia yang paling kurang. Puasa adalah penegasan diriku sebagai sesuatu yang lapar dan juga retak: sebagai aku yang ingin dan tak mendapat, aku yang menolak untuk rakus tapi juga merasa sakit.
Tapi saya, yang berpuasa ini, juga sering tak menyadari bahwa puasa dapat memberi diri sesuatu yang sama sekali bertentangan: rasa berkelebihan, bahkan supremasi. Aku seakan-akan dalam kesucian, sebagai yang ”berkorban” dan juga sebagai yang ”tak najis”. Orang lain? Mereka dosa, loba, penuh syahwat—pendeknya lebih nista dari diriku.
Itu barangkali asal mula orang lain dituntut untuk menghormati aku. Kalau tidak, orang lain harus aku jauhi. Kalau tidak, orang lain harus aku tobatkan. Aku, si suci, harus meniadakannya sebagaimana dia adanya, dengan menyisihkan atau mengubahnya.
Salah satu problem besar dunia ialah bahwa kita sering menemukan wajah yang bertentangan seperti saya sebut tadi dari orang yang berpuasa—atau dari orang dalam ibadat yang mana pun. Kontradiksi ini disembunyikan atau ditekan karena wacana yang ada diberi sanksi oleh sebuah bayangan tentang Yang Maha Kuasa dan Maha Sempurna yang menuntut keutuhan dan kekuatan, bukan sebuah bayangan tentang Yang Maha Rahman dan Rahim yang mengampuni si daif dan si retak-cacat.
Dalam wajah yang lapar, yang dekat dengan tubuh, dalam kekurangan dan kefanaan, manusia hadir mau tak mau mengalami dirinya bukan sebagai sebuah ide, bukan sebuah konsep yang abstrak. Perut yang meminta nasi dan tenggorokan yang sedikit bau basah tidak ada dalam Manusia dengan ”M”. Seraya bersentuhan dalam sifatnya yang konkret, manusia mengalami dan menyadari apa artinya perubahan, apa perlunya perbedaan dari waktu ke waktu, perbedaan dari satu situasi ke situasi lain.
Tetapi bila puasa bukan menandaskan wajah yang lapar, melainkan kesucian diri yang penuh, manusia merasa seakan-akan berada di atas segala situasi, di luar waktu, tak tersentuh perubahan, dan perubahan bahkan dapat berarti najis.
Di hari-hari ini saya berpuasa—dan apakah gerangan yang tumbuh dalam diri saya? Sesuatu yang menghargai yang fana dan sebab itu berterima kasih atas setiap momen empati? Atau sesuatu yang meminta dihormati, karena aku adalah sebuah prestasi, sebuah posisi di atas sana, di mana yang kekal dan sempurna mengangkatku?
Jika saya harus menjawab, saya akan mengatakan: saya takut dihormati.
Goenawan Mohamad
Bamboo Fern
I wanted to quit my life. I went to the woods to have one last talk with God.
"God", I said. "Can you give me one good reason not to quit?" His answer
surprised me...
"Look around", He said. "Do you see the fern and the bamboo?"
"Yes", I replied.
"When I planted the fern and the bamboo seeds, I took very good care of them. I
gave them light. I gave them water. The fern quickly grew from the earth. Its
brilliant green covered the floor. Yet nothing came from the bamboo seed. But I
did not quit on the bamboo. In the second year the Fern grew more vibrant and
plentiful. And again, nothing came from the bamboo seed. But I did not quit on
the bamboo." He said.
"In year three there was still nothing from the bamboo seed. But I would not
quit. In year four, again, there was nothing from the bamboo seed. I would not
quit." He said.
"Then in the fifth year a tiny sprout emerged from the earth. Compared to the
fern it was seemingly small and insignificant...But just 6 months later the
bamboo rose to over 100 feet tall. It had spent the five years growing roots.
Those roots made it strong and gave it what it needed to survive. I would not
give any of my creations a challenge it could not handle." He said to me.
"Did you know, my child, that all this time you have been struggling, you have
actually been growing roots?"
"I would not quit on the bamboo. I will never quit on you."
"Don't compare yourself to others." He said. "The bamboo had a different
purpose than the fern. Yet they both make the forest beautiful."
"Your time will come", God said to me. "You will rise high"
"How high should I rise?" I asked.
"How high will the bamboo rise?" He asked in return.
"As high as it can?" I questioned
"Yes." He said, "Give me glory by rising as high as you can."
I left the forest and bring back this story. I hope these words can help you
see that God will never give up on you. He will never give up on you.
Never regret a day in your life.
Good days give you happiness; bad days give you experiences; both are
essential to life
(Thanks to Veyke who forwarded this beautiful story. It's really inspiring!)
Misa Indonesia Pertamaku di Austin
Hari itu Kamis siang di Austin, Texas. Di Costco food court, tempatku bekerja, pengunjung mulai ramai antri untuk lunch. Tiba-tiba, "Hai, Maria! Apa kabar?" Ternyata Lily Widodo, salah satu customerku yang berasal dari Malang, Indonesia. Setelah basa basi sejenak, Lily mengajakku untuk datang ke misa Indonesia tanggal 9 September jam 2pm. Aku ragu, karena itu berarti kurang dari 2 minggu waktu yang kuperlukan untuk minta ijin off dari managerku. Plus, minggu itu aku dan beberapa teman di food department dijadwalkan temu muka dengan manager regional. Setelah tahu situasiku, Lily menawarkan dirinya untuk memintakan ijin buatku. Tapi saat itu managerku sedang tidak ada ditempat. "Pokoknya kamu mesti dateng. Biar bisa kenal teman-teman Indonesia yang lain. Kalau ada masalah sama bos, bilang saya, ntar saya bantuin deh!" Begitu gigihnya Lily! Ha ha..
Dalam perjalanan pulang, aku mikir gimana enaknya minta ijin. Tapi, sampai akhir minggu itu pun, aku tetap belum menemukan jawaban. Aku bahkan udah sampai pada taraf 'pikiran curang': call-in-sick (minta ijin sakit) pada minggu itu. Tapi, hari Senin, Mike -manager dari department lain- menemui aku dan minta bantuanku untuk bekerja 'temporarily' di departemennya mulai minggu depan. "OK, Mike. But I need to ask you one little favor." Kuutarakan situasiku, and Mike said, "That's it? Alright then. You only work weekdays and you'll get all weekend hanging out with your friends and families." Oh my God! This is way beyond my expectation! Thank you Lord! Jadi aku gak perlu susah-susah ngarang cerita ini itu, atau bahkan pura-pura sakit. Tuhan sungguh baik.
Akhirnya, minggu itu datanglah. Aku ke rumah Lily dan bersama-sama keluarganya kita ke UCC (University Catholic Center) di kompleks UT (University of Texas) di downtown Austin. Aku sengaja gak ajak Loel, karena kupikir ntar cuman misa dan sekedar acara gathering kecil-kecilan. Misa berlangsung lancar dengan Romo Fajar, OFM. yang ditugaskan di paroki New Braunfels. Sebenarnya misinya di San Antonio, tapi berhubung di New Braunfels lagi kosong gembala ya udah beliau yang jadi 'single fighter' disana. Ada sedikit 'insiden' saat komuni. Romo kehabisan hosti! Dengan sigapnya, Lily langsung lari ke ruangan atas untuk ambil extra. Insiden teratasi! Thanks to Lily!
Selesai misa, Romo minta para mahasiswa baru UT untuk maju ke depan. Lily dengan semangatnya mengangkat tangan sambil berseru, "Romo...Romo...ini ada anggota baru juga tolong dipanggil!" sambil tangan satunya menunjuk diriku. Walhasil, aku ikutan maju bersama sekitar selusin mahasiswa baru. Setelah perkenalan sejenak, Romo perciki kita dengan air suci lalu memberikan berkat dan doanya.
Selesai misa, kita menuju rumah Inneke Widjaja yang dijadikan 'stasiun kongkow' kali ini. Sayang sekali, Romo Fajar gak bisa ikutan karena beliau mesti balik ke parokinya untuk bertemu dengan para orangtua sekolah minggu. Masuk rumah Inneke, harum aroma masakan Indonesia langsung nabrak hidung! Opor ayam, sambel goreng ati-rempelo, gado-gado, lemper, risoles, es tape, dan masih banyak lagi lainnya. Oh, betapa rinduku pada masakan tanah air! Para mudika yang semuanya adalah mahasiswa UT dan keluarga-keluarga katolik lainnya udah pada ramai ngobrol didalam. Kuhitung-hitung ada sekitar 80 orang! Lily - dia ini dijuluki 'Bu RT' di komunitas Indonesia di Austin ha..ha..- bilang, "Ini belum semuanya, karena mereka yang hadir disini cuman yang katolik. Tapi setidaknya kamu sekarang tahu bahwa kamu punya banyak teman disini." Benar-benar menakjubkan!
Acara kumpul dan makan-makan ini bisa dibilang 'Java potluck party'. Why? Karena hampir semua yang hadir disana berasal dari tanah Jawa. Bahasa Jawa ngoko dan Suroboyoan mendominasi obrolan. Kita ngobrol mulai soal dimana dapat pete di Austin sampai kondisi politik di tanah air. Semua yang kutemui menanyakan kenapa suamiku gak diajak. Aku bilang dia lagi sibuk, maybe next time. Tak terasa, malam tiba. Saat pulang, aku masih dibekali Lily frozen papaya leaves! Lumayan....bisa tak bikin jangan godhong kates..yuum...yuuum..!
Sampai dirumah, aku cerita ke Loel dengan semangat 45 tentang acara tadi dan bagaimana orang-orang menanyakan dirinya. Loel dengan pasang muka sedih bilang, "I thought I was not invited. You didn't ask me to go with you." Ya ampun! Lha aku kira dia yang mau stay home. Aku langsung menghiburnya, "Next time, kita bisa bikin acara pemberkatan rumah dan undang mereka dan kita bikin Indonesian pot luck party lagi. How's that, hun?" Dan dia kembali pasang muka ceria, kaya arek cilik yang baru dikasih permen ha..ha..
Anyway, misa Indonesia pertamaku di Austin sungguh-sungguh berkesan. Acara sesudahnya pun benar-benar membawaku ke masa di saat aku masih di Surabaya dulu. Betapa indahnya making new friends in a new land. Loel teased me, "Kalau sejak dulu kita tahu ada komunitas Indonesia begini, mungkin kamu gak perlu sampai ngamar di hospital." I think he's right! Ha ha..